18 Tahun di Terminal: Kisah Tragis Mehran Karimi Nasseri, Pria Tanpa Negara yang Hidup dan Mati di Bandara

18 Tahun di Terminal: Kisah Tragis Mehran Karimi Nasseri, Pria Tanpa Negara yang Hidup dan Mati di Bandara
Paris, Bandara Charles de Gaulle — Di sudut terminal yang sibuk, di antara langkah kaki ribuan pelancong dan denting koper yang menggema, seorang pria duduk diam di bangku merah. Tahun demi tahun berlalu, namun tempat duduk itulah rumahnya. Ia bukan petugas bandara. Ia bukan penumpang transit. Ia adalah Mehran Karimi Nasseri, pria tanpa negara yang menjalani hidupnya selama 18 tahun di bandara, terperangkap di antara batas legalitas, identitas, dan harapan yang tak kunjung datang.
Lahir pada tahun 1945 di Masjed Soleiman, Iran, Nasseri meninggalkan negaranya pada 1977 demi menghindari gejolak politik dan penyiksaan. Ia mencari suaka politik ke Eropa, dan akhirnya diterima oleh Belgia. Namun, takdir mulai mempermainkannya ketika ia kehilangan dokumen resminya dalam perjalanan ke Inggris. Ia dideportasi kembali ke Prancis, tapi karena tidak memiliki dokumen identitas, otoritas Prancis tidak bisa mengizinkannya masuk ataupun memulangkannya. Maka dimulailah kisah panjangnya: hidup di zona transit Terminal 1 Bandara Charles de Gaulle, sejak 1988.
Hari-hari Nasseri tak berubah. Ia tidur di bangku besi, mandi di toilet umum, mencuci pakaiannya di wastafel, dan mengisi hari dengan membaca buku serta menulis jurnal kehidupan. Ia menjadi sosok yang dikenal oleh staf bandara, hingga mendapat julukan “Sir Alfred” — nama yang ditulisnya sendiri pada sebuah kartu identitas buatan tangan.
Setiap pagi, penumpang baru menyaksikannya duduk dalam diam, seolah bagian dari perabot terminal. Banyak yang tak menyadari bahwa pria itu telah menyaksikan dunia berubah lewat jendela bandara: perang datang dan pergi, presiden berganti, dan teknologi berkembang — namun hidupnya tetap tertambat di tempat yang sama.
Kisahnya sempat menarik perhatian dunia. Pada awal 2000-an, tawaran bantuan datang dari Belgia dan Prancis untuk memberikan izin tinggal. Namun Nasseri, yang telah kehilangan rasa percaya dan pegangan akan identitasnya, menolak keluar dari bandara karena merasa bukan dirinya jika menggunakan nama yang salah atau mengakui asal yang tidak sesuai. Baginya, identitas bukan sekadar nama di atas kertas — itu adalah kebenaran hidup yang tak bisa dikompromikan.
Kisah hidup Nasseri bahkan menginspirasi film Hollywood “The Terminal” (2004), yang dibintangi Tom Hanks, meskipun ceritanya hanya loosely based pada kehidupannya. Namun kehidupan nyata Nasseri jauh lebih sunyi, lebih getir, dan lebih tragis dari versi layar lebar mana pun.
Pada tahun 2006, kondisi kesehatannya memburuk. Ia akhirnya dirawat dan keluar dari bandara, untuk tinggal di rumah singgah dan tempat perlindungan sosial. Namun ia kembali ke bandara beberapa tahun kemudian, entah karena kerinduan, atau karena hanya di sanalah ia merasa "ada".
Pada 12 November 2022, dunia akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada pria yang hidup di antarrauangan dan antarwaktu itu. Mehran Karimi Nasseri ditemukan meninggal dunia di Terminal 2F, bandara yang selama puluhan tahun menjadi saksi bisu kisahnya. Ia pergi di tempat yang telah menjadi rumah, penjara, dan satu-satunya dunia yang ia kenal.
Penutup:
Kisah Mehran Karimi Nasseri adalah pengingat menyakitkan bahwa di balik dokumen, paspor, dan garis-garis batas negara, ada jiwa-jiwa yang hilang. Ia adalah simbol dari betapa sistem hukum dan politik bisa gagal memahami sisi paling dasar dari kemanusiaan: hak untuk diakui, untuk memiliki rumah, dan untuk menjadi seseorang.